https://www.masrizky.biz.id/ – Kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) kini memengaruhi banyak aspek kehidupan, mulai dari membantu peneliti memahami cara kerja penglihatan manusia hingga menerjemahkan pikiran untuk mengoperasikan prostetik.

Namun di tengah kemajuan teknologi tersebut, para ilmuwan justru semakin mengagumi kecanggihan otak manusia sebagai “komputer biologis” paling efisien di dunia.

Menurut laporan dari BrainFacts.org, otak manusia memiliki kemampuan luar biasa dalam mengolah informasi, bahkan jauh lebih hemat energi dibandingkan sistem AI tercanggih sekalipun.

AI memang mampu menganalisis data dalam jumlah besar, tetapi untuk melakukan tugas-tugas sederhana seperti membedakan wajah, otak manusia tetap unggul dalam kecepatan dan efisiensinya.

Ilmu baru bernama network neuroscience kini menjadi fokus para peneliti untuk memahami cara kerja otak sebagai jaringan koneksi.

“Kalau kita tidak tahu bagian mana yang terhubung ke mana, bagaimana kita bisa memahami cara kerja otak?” ujar Olaf Sporns, ahli neurosains komputasi dari Indiana University, dikutip dari BrainFacts.org.

Sejak awal 2000-an, Sporns dan timnya mulai menggagas connectome, yakni peta jaringan konektivitas otak manusia. Mereka memetakan bagaimana berbagai area otak saling terhubung melalui "hub" atau simpul penting, seperti halnya sistem transit di kota besar. Dari sini, para ilmuwan bisa melihat bagaimana otak membentuk kesadaran, mengambil keputusan, hingga membentuk emosi.

Perbandingan antara AI dan otak manusia terus menjadi bahan diskusi. Menurut Sporns, otak kita “sangat efisien dalam mempelajari hal-hal baru, dengan sedikit pelatihan dan konsumsi energi yang sangat rendah.” Bayi, misalnya, hanya perlu melihat beberapa wajah untuk mengenalinya, sedangkan AI butuh ribuan data wajah untuk memahami hal yang sama.

Dani Bassett, fisikawan dari University of Pennsylvania, menjelaskan bahwa ada dua penyebab utama mengapa AI belum mampu menyaingi otak manusia: strategi kognitif yang belum ditiru, dan keterbatasan perangkat keras buatan. “Keduanya benar,” kata Bassett. “Perbedaan antara kita dan sistem AI terletak pada strategi berpikir (software) dan struktur fisik (hardware).”

Meski begitu, AI dan otak manusia tidak harus saling bersaing. Menurut Bassett, justru pada titik temu antara AI dan model otak lah pemahaman kita terhadap sistem kompleks bisa semakin dalam. “Di situlah kita bisa menemukan kesederhanaan yang tak terduga dalam sistem yang rumit,” ujarnya.

Lebih dari sekadar memahami kecerdasan manusia, penelitian tentang jaringan otak juga membuka jalan baru untuk memahami penyakit neurologis seperti Alzheimer, epilepsi, dan Parkinson. Menurut Cornelis Stam dari Amsterdam University Medical Center, kerusakan pada simpul penting dalam jaringan otak bisa menyebabkan "kemacetan" atau beban berlebih pada simpul lain, yang pada akhirnya memperparah kondisi pasien.

Melalui model jaringan otak dan data seperti EEG, ilmuwan kini mampu melacak perkembangan penyakit Parkinson atau bahkan memprediksi gejalanya sejak dini. Bassett juga tengah meneliti bagaimana otak bisa “didorong” ke arah kondisi yang lebih sehat melalui stimulasi terarah, yakni potensi besar untuk pengobatan yang dipersonalisasi.

Penelitian tentang jaringan otak tidak hanya bertujuan menyelesaikan satu jenis penyakit. Menurut Stam, pendekatan ini adalah cara baru dalam memahami otak secara keseluruhan. “Ini bukan soal satu trik untuk satu penyakit, tapi cara pandang baru terhadap otak,” ujarnya.

Dengan pendekatan interdisipliner yang menggabungkan neurologi, neurobiologi, matematika, dan AI, pemetaan otak kini menjadi kunci bukan hanya untuk memahami manusia, melainkan juga untuk membentuk masa depan teknologi.

Post a Comment